Setelah menyabet sejumlah kategori juara di ajang Festival Teater Jakarta selama 2001-2003. Pegiat Teater Syahid UIN Jakarta melakukan urun rembuk perihal kelanjutan proses berteaternya. Diskusi cukup panjang terjadi selama tahun 2004-2005, yang menghasilkan kesepakatan pendirian grup baru, bernama Lab Teater Syahid pada 1 Desember 2005. Kemudian dalam perjalanannya di tahun ke-4, berubah nama menjadi Laboratorium Teater Ciputat (LTC), dengan menimbang bahwa pelaku seni yang akan terlibat di masa mendatang akan lebih terbuka dan beragam, serta tidak selalu berawal dari teater kampus.
Mimpi besar dari lingkaran kecil ini adalah menjadi bagian dalam sejarah perkembangan teater di Indonesia. Demi mencapai visi tersebut, LTC memiliki orientasi pertama-tama pada pencapaian karya artistik yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Kedua, memosisikan kesenian sebagai media yang dapat mempertemukan berbagai kepentingan di masyarakat. Ketiga, menyusun kerja-kerja riset dan menjadi lembaga penerbitan untuk menguatkan tujuan-tujuan idealnya. Bertolak dari 3 misi itu, LTC menggelar proses penciptaan karya yang bertolak dari workshop, diskusi, penelitian, observasi, kolaborasi, dan live in yang berkonsentrasi pada isu, tema, dan problematika masyarakat urban serta kondisi spiritualnya. Serangkaian kerja itu dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak dari beragam lintas disiplin keilmuan dan keterampilan.
Dalam proses perjalanannya, ketiga misi di atas ternyata dapat saling mengisi dan menguatkan. Para seniman LTC mendapat pengalaman batin dari kerja sama langsung dengan komunitas masyarakat tertentu. Dari kerja pendampingan kultural itu, mereka dapat menjadikannya sebagai bahan penciptaan karya, dan formula untuk mengembangkan bentuk pelatihan. Sebaliknya, proses panjang yang dilakukan para seniman dalam proses penciptaan karya LTC, menghasilkan bentuk metode pelatihan dan pendekatan yang dapat memperkaya proses keterlibatan LTC di masyarakat.
Hasil akhir dari kedua bentuk praktik itu dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk karya pertunjukan, maupun event budaya sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Di beberapa proyek, kedua hal itu dipadukan dalam satu momen. Konsekuensinya adalah kebutuhan atas stamina LTC yang lebih besar. Oleh karena itu, seringkali keputusan ini menimbulkan ketegangan antara kepentingan nalar kreatif dengan kebutuhan pragmatis dan strategis. Namun paling tidak, LTC mendapat manfaat dari upaya memperluas jaringan kerja sama dengan berbagai pihak. Yang pada akhirnya dapat berpengaruh positif pada penciptaan karya selanjutnya, pengembangan program, pola komunikasi dengan berbagai pihak, pengelolaan organisasi, dan bahkan pada penguatan pilihan dramaturgisnya. Dalam arti luwes, hal ini membuka kemungkinan penciptan karya dari berbagai sumber.