Tema-tema yang digarap LTC bersumber dari dinamika yang terjadi dalam masyarakat masa kini, segaris lurus dengan problematika kaum urban. Kecenderungan tersebut terasa sangat kuat dalam pertunjukan Kubangan –2007-. Karya perdana ini membutuhkan waktu panjang dalam proses penciptaannya. Pertunjukannya dipentaskan di sebuah panggung catwalk sepanjang 16 meter yang membelah ruangan dan menempatkan penonton di sisi kanan dan kiri panggung.
Pentas Kubangan mengungkapkan kondisi manusia urban yang mengalami kekacauan dan trauma sehingga kehilangan unsur-unsur naturalistiknya. Pentas ini merupakan sebuah kritik terhadap era globalisasi yang berambisi menyeragamkan selera manusia dari seluruh penjuru dunia lewat dunia net yang diciptakannya, dalam kondisi masyarakat yang masih gagap teknologi dan masih trauma dengan kondisi politik Indonesia sebelum ‘98. Pertunjukan berhasil ditampilkan di sejumlah kota di Indonesia pada 2007-2009, antara lain Bentara Budaya Jakarta; LIP Bandung; FSS Surabaya; ISI Padang Panjang; Taman Budaya Pekanbaru dan Aula STAIN Metro Lampung.
Pengalaman artistik tersebut mendapatkan afirmasi melalui keterlibatan LTC dalam proses pendampingan ibu-ibu korban kekerasan ‘98. Dengan menggunakan teater sebagai media trauma healing, LTC menggunakan metode latihan teater gembira dalam proses selama hampir 8 bulan. Dalam hal ini, teater digunakan sebagai ruang pengondisian untuk menguatkan semangat mereka guna menatap masa depan yang lebih baik.
Dalam pertemuan intensif oleh KONTRAS yang memfasilitasi, timbul antusiasme peserta dalam proses berlatih. Hingga lahirlah karya yang berjudul Terjepit dengan bertolak dari pengalaman pahit mereka saat pecah arus Reformasi 1998 -kondisi sosial ekonomi pada saat itu dan secercah harapan yang masih mereka miliki-. Karya tersebut dipentaskan di beberapa kampung di Jakarta, dan sangat memberi kesan bagi keberadaan mereka sebagai korban kekerasan negara.
Selanjutnya, LTC melakukan riset kecil di suku Badui sebagai cara untuk membuat jarak, antara pergulatan kreatif di kota metropolitan dan mata batin masyarakat pedalaman. Dari situ lahir ide karya pertunjukan yang mengusung kesunyian manusia dan dunia diam. Para aktor menggali kedua kata kunci tersebut lewat berbagai cara, antara lain workshop diam dan menggali tokoh lewat karya fiksi pilihan mereka.
Pada perkembangan prosesnya tercetus karya yang mulanya berjudul Muara, Ruang Antara, lalu kemudian ditetapkan Cermin Bercermin. Tema yang diusung LTC berdasarkan pandangan bahwa manusia adalah cermin bagi manusia atau makhluk lain. Cermin akan menggambarkan apa adanya mengenai kondisi objek pantulan. Bila cermin buram atau retak maka retak atau buramlah pantulannya. Sebagaimana judulnya, panggung semi arena dipenuhi cermin retak dan tidak retak dalam berbagai ukuran, mulai dari pintu masuk gedung, hingga memenuhi bagian belakang panggung.
Perjalanan LTC selanjutnya yaitu melakukan proses intermediasi kultural di Pulau Panggang-Pramuka di Kepulauan Seribu tahun 2010-2013. LTC bekerja sama dengan semua lapisan warga mulai dari kaum ibu, pemuda, nelayan, guru, agamawan, pengusaha kapal wisata, dan pemerintahan setempat. Melalui Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Samo-Samo dan Sanggar Apung, LTC mengawali kerja kulturalnya dengan membuat riset budaya Pulau Panggang -merupakan pulau tertua dan terpadat di Kepulauan Seribu-, yang kemudian melalui Penerbit LTC hasil riset tersebut dapat diakses publik dalam sebuah buku berjudul Orang Pulo di Pulo Karang.
Dari hasil riset tersebut, LTC melanjutkan dengan kerja lapangan dalam bentuk pelatihan kesenian, kolaborasi pertunjukan, pelatihan pengemasan makanan khas, dan puncaknya adalah menyelenggarakan festival budaya Hajatan Pulang Babang bersama masyarakat setempat. Sebuah kegiatan yang bertolak dari potensi seni dan budaya yang hampir punah dari Pulau Panggang -pulau tertua dan terpadat di Kepulauan Seribu-. Acara ini diisi dengan beberapa program, salah satunya pertunjukan teater warga pulau berbasis legenda Pulau Panggang, sebagaimana judul buku hasil riset yang mengawali projek panjang ini. Kerja pendekatan kultural ini dimulai dari pelatihan teater dan hubungan baik bersama pemuda Pulau Panggang sejak 2002.
Di tahun 2013, kami kembali masuk dalam proses penciptaan eksperimental. Karya pertunjukan pada tahun itu bertolak dari novel Mada karya Abdullah Wong. Kami menurunkan sejumlah tema percakapan dalam pertunjukan mulai soal eksistensi manusia, kegelisahan spiritual hingga kondisi ruang dan lingkungan kota yang menjadi sumber sebab perilaku masyarakat urban. Dalam obrolan demi obrolan selama proses latihan, bergulirlah bermacam istilah seperti komunitas urban, realitas politik, pasar global, idola, penggemar, generasi galau, karakter bangsa serta kesejatian diri.
Istilah-istilah ini pada dasarnya vital dan mengendap di balik kesadaran kaum muda yang dipenuhi trending topics media sosial. Proses pembacaan karya berlangsung bersamaan dengan proses latihan, adapun penerapan strateginya yaitu mengarahkan sutradara dan pemain untuk mengambil posisi terhadap novel Mada yang menjadi sumber gagasan. Posisi diskursif ini akhirnya menjelma dalam konsep artistik dengan puluhan kotak berukuran 40cm x 40cm sebagai bahasa/simbol dasar dari pertunjukan ini. Dari benda itu, serangkaian bentuk adegan hasil eksplorasi tercipta dari 20 aktor pemula. Puluhan kotak menggambarkan citra ruang dan tempat, seperti tiang penyangga, catwalk, rumah, area games corner, perbukitan, barak perang, hingga piramida. Kesemua hasil tersebut berangkat dari pendekatan partisipatif dalam semangat eksperimental yang dilakukan seluruh tim kerja yang terlibat.
Pada akhir 2014, LTC memutuskan terlibat aktif di kawasan Hutan Sangga Buana Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus. Keterlibatannya dimulai dari riset awal tentang Kali Pesanggrahan yang menjadi fokus garapan LTC dalam program “Kota Tenggelam”, yang digagas Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Program ini menjadi momentum perkenalan intensif LTC dengan H. Chaeruddin (Babeh Idin), peraih Piala Kalpataru 2013. Beliau tokoh inspiratif di bidang lingkungan yang memegang teguh keyakinan dan penghormatan pada alam, serta pekerja keras tanpa pamrih yang berupaya mengembalikan ekosistem bantaran Kali Pesanggrahan secara alami lebih dari 30 tahun. Perkenalan tersebut melahirkan komitmen LTC untuk mempelajari hal baru bekerja sama dengan Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana, melalui pendekatan live in, baik secara individu maupun secara organisasi. Tepat di pinggiran kali Pesanggrahan Hutan Kota Sangga Buana, kami tinggal di rumah panggung di samping mata air berusia ratusan tahun.
LTC merespon tradisi yang telah berlangsung di kawasan hutan kota dengan cara membersihkan, melestarikan, memanfaatkan, menjaga, menata, dan mengelola pemanfaatan hutan kota, sekaligus belajar tentang kearifan lokal dan nilai budaya masyarakat setempat. Selama 3 tahun LTC melahirkan kerja-kerja kultural dalam rangka penguatan proses diseminasi karya dan nilai perjuangan yang telah dilakukan KTLH Sangga Buana, kepada khalayak luas. Adapun serangkaian program selama LTC bermukim, antara lain ritual lepas burung, tanam pohon dan sebar ikan, Hari Bumi, Hari Air, Sedekah Sungai l dan ll, dan Bersama Hutan Kota. Ditambah karya teater eksperimental yang bertolak dari cerita lokal dan karakter setempat, berjudul Mata Air Mata, Suluk Sungai, dan Penjara Hujan, yang mengusung tema dunia spiritual masyarakat urban, kapitalisme global serta krisis lingkungan dan alam.
Akhir tahun 2017, LTC menggelar kegiatan KALIKALIKU di Kandank Jurank Doank setelah masa live in di Hutan Sangga Buana selesai. Kegiatan ini merupakan sebuah refleksi perjalanan berteater LTC selama 12 tahun yang didukung program Fasilitas Kegiatan Kesenian (FKK) Kemendikbud. Rangkaian program dua hari tersebut diniatkan untuk menguatkan jaringan kesenian dengan berbagai pihak di wilayah Tangerang Selatan sebagai basis sosial kultural LTC. LTC merasa berkebutuhan untuk menguatkan basis sosial kemasyarakatan di lingkungan terdekatnya. LTC berupaya bekerja dalam ruang lingkup penciptaan karya dengan para seniman lintas disiplin, dalam program pendampingan sosial budaya dengan masyarakat sekitar. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk pameran arsip hasil kurasi Sartika Dian dan Hilmi Fabeta, Diskusi Seni dan HAM, Pementasan Musik, Workshop Metode Penciptaan Karya LTC, dan penampilan embrio karya terbaru.
Tahun 2018-2019, LTC secara estafet melahirkan sejumlah karya pertunjukan dan kegiatan, antara lain XQM4Z yang merupakan hasil diskusi panjang soal dunia net yang menenggelamkan masa depan generasi milenial, sebagaimana pandangan dalam sebuah esai yang ditulis Radhar Panca Dahana. Karya ini diundang dalam Forum Teater Sumatera di Pekanbaru, Riau. Karya berikutnya berjudul Sinopsis TIM 2019+ yang melibatkan generasi muda sebanyak 70 orang, yang mengusung tema keterputusan antara masa lalu dan masa kini. Pentas ini menjadikan penonton sebagai subjek pertunjukan dan melebur bersama aktor dan peristiwa. Karya ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam Forum Djakarta Theatre Platform.
Di antara kedua karya tersebut, LTC juga terlibat dalam kegiatan Seni dan Kota yang memediasi masyarakat Pondok Jaya, Bintaro. LTC memfasilitasi dialog dan ekspresi masyarakat setempat tentang kenangan kampungnya, yang dikemas dalam pertunjukan seni dan pameran foto tempo dulu. Para pemuda setempat bahu-membahu bekerja sama, dimulai dengan proses wawancara sesepuh kampung, pengumpulan foto tempo dulu, penulisan cerita setempat dan berbagai persiapan kegiatan. Kesemuanya sangat memberi arti pada kebersamaan, persaudaraan, dan makna masa lalu untuk kehidupan mereka hari ini. Selain itu proses intermediasi kultural dilaksanakan pula pada akhir 2019, bersama pemuda Pulau Untung Jawa. Di sini LTC melakukan advokasi seni budaya lokal melalui semangat teater, dengan cara mengumpulkan cerita lokal pulau, mendiskusikan dan menyusunnya ulang sesuai kebutuhan. Pada karya pertunjukan ini, kami beri judul Jaring Sampan, yang dipentaskan di Taman Arsya, Dermaga Pulau Untung Jawa. Pementasan ini dihadiri ratusan pengunjung wisata dan seluruh penduduk setempat.
Refleksi dari berbagai kegiatan kultural dan pendekatan penciptaan karya sebagaimana terangkum di atas, membuat LTC semakin menyadari posisinya sebagai kelompok teater yang bergerak dan berkarya di antara eksklusivitas karya dan proses penciptaan yang inklusif. Posisi ini kemudian mendorong LTC untuk merumuskan konsep dan metode teater “partisipatif”, yang bertolak dari pengalaman dramaturgis dan pembacaan ulang atas kecenderungan gaya dan pendekatan yang digunakan LTC selama ini. Konsep ini sekaligus dalam rangka mengoptimalkan semangat kerja eksperimental di dalam laboratorium keaktoran, penyutradaraan, pengelolaan gagasan dan proses intermediasi kultural terkait isu-isu masyarakat urban.